ANALISIS
EVALUASI PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG
KEBIJAKAN NEGARA
Pokok bahasan bab ini adalah
identifikasi peraturan perundangundangan yang telah diinventarisir serta
analisis permasalahannya. Analisis dilakukan untuk mengetahui permasalahan
perundang-undangan terkait kekarantinaan. Analisis dilakukan untuk mengetahui
aturan-aturan yang bertentangan, multitafsir, inkosisten, atau tidak
operasional. Setelah peraturan perundang-undangan dianalisis maka peraturan
perundang-undangan tersebut kemudian dievaluasi apakah akan dipertahankan,
direvisi, atau dicabut.
A. Analisis
Peraturan Perundang-undangan tentang Kekarantinaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara. Ketentuan dalam undang-undang tersebut sudah tidak relevan lagi dengan
kondisi saat ini. Pada sisi lain, saat undang-undang tersebut dibuat masih
mengacu kepada peraturan kesehatan internasional yang disebut International
Sanitary Regulations (ISR) 1953. Kemudian ISR tersebut diganti dengan
International Health Regulations (IHR) 1969 dengan pendekatan epidemiologi yang
didasarkan kepada kemampuan sistim surveilans epidemiologi. Pada Sidang Majelis
Kesehatan Sedunia tahun 2005 menyepakati International Health Regulations (IHR)
1969 tersebut menjadi International Health Regulations (IHR) Revisi 2005 yang
mulai diberlakukan pada tanggal 15 Juni 2007. Di samping itu, perkembangan
penyakit yang dapat disebarkan melalui mobilitas alat angkut, orang dan barang
semakin meningkat dan beragam. Tindakan karantina dianggap cukup efektif dalam
mencegah atau melokalisasi persebaran penyakit tersebut.
Substansi
yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut cenderung mirip. Pasal-pasalnya,
mulai Pasal 1 sampai akhir, cenderung sama. Perbedaannya hanya pada beberapa
pasal tentang pelaksanaan karantina menurut tempat, yaitu karantina laut dan
karantina udara. Kondisi ini berpotensi menimbulkan inefisiensi dan
ketidakpraktisan khususnya dalam implementasi.
Penetapan
penyakit dalam undang-undang tersebut menimbulkan kekakuan dalam penerapan
undang-undang karantina. Seiring dengan berjalannya waktu, telah muncul pula
beberapa penyakit baru misalnya SARS, Avian Influenza (H5N1) dan Influenza baru
tipe A (H1N1) yang memiliki karateristik tingkat virulensi lebih tinggi dan
penyebarannya sangat cepat dan meluas serta belum ada obatnya. Penyakit
tersebut sangat berpotensi menimbulkan wabah dalam waktu singkat. Hal ini lebih
berbahaya dibandingkan dengan penyakit yang tercantum dalam Undang-Undang
Karantina.
Untuk
itu perlu upaya agar dalam ketentuan yang baru mengenai penetapan jenis penyakit
tidak perlu dituangkan dalam Undang-undang tetapi di dalam peraturan
pelaksanaan dibawahnya agar lebih fleksibel. Dengan demikian ketentuan yang
baru dapat mencegah terjadinya kekakuan penetapan penyakit yang memerlukan
tindakan karantina kesehatan.
Undang-undang
lain yang mengatur kekarantinaan, Undang-undang No. 16 tahun 1992 tentang
Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan, disusun berdasarkan kondisi yang ada pada
saat diundangkan. Beberapa substansi muatannya sudah tidak sesuai lagi saat
ini. Substansi yang diatur dalam beberapa ketentuan sulit dilaksanakan karena
sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada saat ini. Ketentuan yang ada tidak
cukup memberikan ruang untuk precautionary treatment.
Penetapan
dan pencabutan penetapan terjangkitnya suatu pelabuhan/bandar udara dari
penyakit karantina dilakukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan pertimbangan
epidemiologis dan pengujian laboratorium atau selama 2 (dua) masa inkubasi
suatu penyakit karantina. Ketentuan ini masih relevan dengan kondisi saat ini,
sehingga masih layak dipertahankan.
Penggolongan
kapal/pesawat sehat, tersangka, atau terjangkit dimaksudkan untuk menentukan
tindakan karantina terhadap orang dan barang. Penggolongan pelabuhan/bandar
udara karantina dimaksudkan untuk menentukan klasifikasi pelabuhan/bandar udara
yang mempunyai kemampuan untuk menyelenggaran tindakan karantina. Ketentuan ini
masih layak dipertahankan, namun perlu pengaturan mengenai siapa yang berwenang
menetapkan penggolongan kapal/pesawat dan penggolongan pelabuhan/bandar udara.
Setiap
kapal/pesawat wajib memiliki dokumen kesehatan sebagaimana juga diharuskan oleh
IHR 2005 dan ketentuan internasional lainnya, oleh sebab itu di dalam kedua
undang-undang tersebut diatur bagaimana penerbitan dokumen kesehatan alat
angkut dan orang. Ketentuan ini masih layak dipertahankan, namun beberapa
istilah dan bentuk dokumen kesehatan menurut ketentuan internasioanl mengalami
perubahan, oleh sebab itu dalam ketentuan baru perlu penyesuaian.
Setiap
kapal/pesawat yang datang dari luar negeri dan atau dari suatu pelabuhan dalam
negeri yang terjangkit penyakit karantina berada dalam karantina, dimana
nahkoda/pilot dilarang menaikan atau menurunkan orang dan barang sebelum
memperoleh surat izin bebas karantina, dan kapal tersebut bebas karantina
setelah diberikan surat izin karantina. Setiap kapal/pesawat yang akan
berangkat harus dilakukan pemeriksaan dokumen kesehatan, pemeriksaan kesehatan
awak/personal penerbang dan penumpang serta pemeriksaan faktor risiko kesehatan
masyarakat. Setelah dinyatakan sehat oleh petugas kesehatan, baru diberikan
surat persetujuan berlayar/terbang karantina kesehatan. Ketentuan ini masih
layak dipertahankan, namun perlu dipertimbangkan untuk kapal/pesawat yang
datang dari pelabuhan/bandar udara dalam negeri
Terhadap
kapal/pesawat yang penumpangnya mengalami penyakit karantina harus dilakukan
tindakan khusus karantina atau penanganan terhadap alat angkut beserta
muatannya sesuai jenis penyakit karantina. Ketentuan ini masih perlu
dipertahankan, karena masih sesuai dengan tata laksana kasus penyakit.
Pelanggaran
terhadap kedua undang-undang tersebut dikenakan sanksi pidana kurungan 1 (satu)
tahun penjara dan/atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp.75.000,-. Ketentuan
mengenai sanksi ini sudah tidak relevan karena tidak menimbulkan efek jera,
oleh sebab itu perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini. Untuk lebih
operasional kedua undang-undang karantina memerintahkan pengaturan lebih lanjut
diatur dengan Peraturan Pemerintah, akan tetapi sampai saat ini belum ada peraturan
pemerintah dimaksud.
Dari
sisi maksud dan tujuan dilakukannya tindakantindakan karantina, yakni menolak
dan mencegah masuk dan keluarnya penyakit karantina melalui sarana transportasi
laut maupun udara, kedua undang-undang tersebut masih relevan. Namun dalam
tataran implementasi sangat sulit dilaksanakan, karena perkembangan teknologi
tranportasi, meningkatnya mobilitas orang dan barang, transisi epidemiologi,
tata hubungan internasional maupun nasional, tata pemerintahan, serta kondisi
lingkungan hidup, maka kedua undang-undang ini perlu diganti dan disesuaikan
dengan kondisi saat ini.
Rumusan
dalam Undang-Undang tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan dalam mencegah
masuk dan tersebarnya hama penyakit hewan, hama penyakit ikan, dan organisme pengganggu
tumbuhan tidak membedakan secara tegas tentang karantina hewan, karantina ikan,
dan karantina tumbuhan. Secara teknis antara hama penyakit hewan, hama penyakit
ikan, dan organisme pengganggu tumbuhan memeiliki perbedaan karasteristik baik
sifat, media pembawa, ataupun cara penangannya. Oleh karena adanya penuangan
rumusan dalam Undang-undang no. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan
Tumbuhan yang diusahakan untuk dapat disatukan menyebabkan rumusan
masing-masing bidang tidak dapat dituangan secara optimal. Apalagi pada saat
ini perubahan status dan situasi penyakit dan organisme penggangu berlangsung
cepat melintasi negara atau beberapa negara tanpa batas (transbondary
diseases), munculnya emerging diseases, dan re-emerging diseases, perubahan
tingkat patogenitas suatu penyakit dapat menjadi ancaman bioterorisme bagi
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menganggu stabilitas ekonomi,
sosial dan politik.
Ketentuan
tentang SDM dan Sarana dan Prasarana belum secara jelas diatur dalam Undang-Undang
No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan, padahal untuk
mewujudkan perkarantinaan hewan, ikan, dan tumbuhan dalam suatu system yang
maju dan tangguh sebagaimana diamanatkan memerlukan SDM dan Sarana dan
Prasarana memadai dan dapat diandalkan termasuk penggunaan sarana teknologi
informasi seperti penggunaan sertifikat elektronik.
Masalah
lainnya adalah adanya materi baru yang belum diatur dalam Undang-undang Nomor
16 Tahun 1992, yaitu tentang masalah pungutan jasa karantina dan masalah
transit alat angkut yang mengangkut Media Pembawa. Penjelasan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan menjelaskan:
“Ada
dua masalah dalam yang secara tegas diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah yaitu masalah pungutan jasa karantina dan masalah transit
alat angkut yang mengangkut Media Pembawa”
Dua hal ini mempunyai implikasi yang
luas terhadap kepentingan umum atau menyangkut kompetensi dari berbagai
kementerian sehingga pelaksanaannya memerlukan koordinasi antar departemen.
Aturan hukum yang jelas diperlukan untuk menjaga keutuhan sistem sekaligus
melengkapi ketentuanketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar