Kamis, 16 Januari 2020

Tugas 2 - Delima / 21317514


ANALISIS EVALUASI PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG KEBIJAKAN NEGARA

Pokok bahasan bab ini adalah identifikasi peraturan perundangundangan yang telah diinventarisir serta analisis permasalahannya. Analisis dilakukan untuk mengetahui permasalahan perundang-undangan terkait kekarantinaan. Analisis dilakukan untuk mengetahui aturan-aturan yang bertentangan, multitafsir, inkosisten, atau tidak operasional. Setelah peraturan perundang-undangan dianalisis maka peraturan perundang-undangan tersebut kemudian dievaluasi apakah akan dipertahankan, direvisi, atau dicabut.

A.    Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Kekarantinaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. Ketentuan dalam undang-undang tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Pada sisi lain, saat undang-undang tersebut dibuat masih mengacu kepada peraturan kesehatan internasional yang disebut International Sanitary Regulations (ISR) 1953. Kemudian ISR tersebut diganti dengan International Health Regulations (IHR) 1969 dengan pendekatan epidemiologi yang didasarkan kepada kemampuan sistim surveilans epidemiologi. Pada Sidang Majelis Kesehatan Sedunia tahun 2005 menyepakati International Health Regulations (IHR) 1969 tersebut menjadi International Health Regulations (IHR) Revisi 2005 yang mulai diberlakukan pada tanggal 15 Juni 2007. Di samping itu, perkembangan penyakit yang dapat disebarkan melalui mobilitas alat angkut, orang dan barang semakin meningkat dan beragam. Tindakan karantina dianggap cukup efektif dalam mencegah atau melokalisasi persebaran penyakit tersebut.
            Substansi yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut cenderung mirip. Pasal-pasalnya, mulai Pasal 1 sampai akhir, cenderung sama. Perbedaannya hanya pada beberapa pasal tentang pelaksanaan karantina menurut tempat, yaitu karantina laut dan karantina udara. Kondisi ini berpotensi menimbulkan inefisiensi dan ketidakpraktisan khususnya dalam implementasi.
            Penetapan penyakit dalam undang-undang tersebut menimbulkan kekakuan dalam penerapan undang-undang karantina. Seiring dengan berjalannya waktu, telah muncul pula beberapa penyakit baru misalnya SARS, Avian Influenza (H5N1) dan Influenza baru tipe A (H1N1) yang memiliki karateristik tingkat virulensi lebih tinggi dan penyebarannya sangat cepat dan meluas serta belum ada obatnya. Penyakit tersebut sangat berpotensi menimbulkan wabah dalam waktu singkat. Hal ini lebih berbahaya dibandingkan dengan penyakit yang tercantum dalam Undang-Undang Karantina.
            Untuk itu perlu upaya agar dalam ketentuan yang baru mengenai penetapan jenis penyakit tidak perlu dituangkan dalam Undang-undang tetapi di dalam peraturan pelaksanaan dibawahnya agar lebih fleksibel. Dengan demikian ketentuan yang baru dapat mencegah terjadinya kekakuan penetapan penyakit yang memerlukan tindakan karantina kesehatan.
            Undang-undang lain yang mengatur kekarantinaan, Undang-undang No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan, disusun berdasarkan kondisi yang ada pada saat diundangkan. Beberapa substansi muatannya sudah tidak sesuai lagi saat ini. Substansi yang diatur dalam beberapa ketentuan sulit dilaksanakan karena sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada saat ini. Ketentuan yang ada tidak cukup memberikan ruang untuk precautionary treatment.
            Penetapan dan pencabutan penetapan terjangkitnya suatu pelabuhan/bandar udara dari penyakit karantina dilakukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan pertimbangan epidemiologis dan pengujian laboratorium atau selama 2 (dua) masa inkubasi suatu penyakit karantina. Ketentuan ini masih relevan dengan kondisi saat ini, sehingga masih layak dipertahankan.
            Penggolongan kapal/pesawat sehat, tersangka, atau terjangkit dimaksudkan untuk menentukan tindakan karantina terhadap orang dan barang. Penggolongan pelabuhan/bandar udara karantina dimaksudkan untuk menentukan klasifikasi pelabuhan/bandar udara yang mempunyai kemampuan untuk menyelenggaran tindakan karantina. Ketentuan ini masih layak dipertahankan, namun perlu pengaturan mengenai siapa yang berwenang menetapkan penggolongan kapal/pesawat dan penggolongan pelabuhan/bandar udara.
            Setiap kapal/pesawat wajib memiliki dokumen kesehatan sebagaimana juga diharuskan oleh IHR 2005 dan ketentuan internasional lainnya, oleh sebab itu di dalam kedua undang-undang tersebut diatur bagaimana penerbitan dokumen kesehatan alat angkut dan orang. Ketentuan ini masih layak dipertahankan, namun beberapa istilah dan bentuk dokumen kesehatan menurut ketentuan internasioanl mengalami perubahan, oleh sebab itu dalam ketentuan baru perlu penyesuaian.
            Setiap kapal/pesawat yang datang dari luar negeri dan atau dari suatu pelabuhan dalam negeri yang terjangkit penyakit karantina berada dalam karantina, dimana nahkoda/pilot dilarang menaikan atau menurunkan orang dan barang sebelum memperoleh surat izin bebas karantina, dan kapal tersebut bebas karantina setelah diberikan surat izin karantina. Setiap kapal/pesawat yang akan berangkat harus dilakukan pemeriksaan dokumen kesehatan, pemeriksaan kesehatan awak/personal penerbang dan penumpang serta pemeriksaan faktor risiko kesehatan masyarakat. Setelah dinyatakan sehat oleh petugas kesehatan, baru diberikan surat persetujuan berlayar/terbang karantina kesehatan. Ketentuan ini masih layak dipertahankan, namun perlu dipertimbangkan untuk kapal/pesawat yang datang dari pelabuhan/bandar udara dalam negeri
            Terhadap kapal/pesawat yang penumpangnya mengalami penyakit karantina harus dilakukan tindakan khusus karantina atau penanganan terhadap alat angkut beserta muatannya sesuai jenis penyakit karantina. Ketentuan ini masih perlu dipertahankan, karena masih sesuai dengan tata laksana kasus penyakit.
            Pelanggaran terhadap kedua undang-undang tersebut dikenakan sanksi pidana kurungan 1 (satu) tahun penjara dan/atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp.75.000,-. Ketentuan mengenai sanksi ini sudah tidak relevan karena tidak menimbulkan efek jera, oleh sebab itu perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini. Untuk lebih operasional kedua undang-undang karantina memerintahkan pengaturan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah, akan tetapi sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah dimaksud.
            Dari sisi maksud dan tujuan dilakukannya tindakantindakan karantina, yakni menolak dan mencegah masuk dan keluarnya penyakit karantina melalui sarana transportasi laut maupun udara, kedua undang-undang tersebut masih relevan. Namun dalam tataran implementasi sangat sulit dilaksanakan, karena perkembangan teknologi tranportasi, meningkatnya mobilitas orang dan barang, transisi epidemiologi, tata hubungan internasional maupun nasional, tata pemerintahan, serta kondisi lingkungan hidup, maka kedua undang-undang ini perlu diganti dan disesuaikan dengan kondisi saat ini.
            Rumusan dalam Undang-Undang tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan dalam mencegah masuk dan tersebarnya hama penyakit hewan, hama penyakit ikan, dan organisme pengganggu tumbuhan tidak membedakan secara tegas tentang karantina hewan, karantina ikan, dan karantina tumbuhan. Secara teknis antara hama penyakit hewan, hama penyakit ikan, dan organisme pengganggu tumbuhan memeiliki perbedaan karasteristik baik sifat, media pembawa, ataupun cara penangannya. Oleh karena adanya penuangan rumusan dalam Undang-undang no. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan yang diusahakan untuk dapat disatukan menyebabkan rumusan masing-masing bidang tidak dapat dituangan secara optimal. Apalagi pada saat ini perubahan status dan situasi penyakit dan organisme penggangu berlangsung cepat melintasi negara atau beberapa negara tanpa batas (transbondary diseases), munculnya emerging diseases, dan re-emerging diseases, perubahan tingkat patogenitas suatu penyakit dapat menjadi ancaman bioterorisme bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menganggu stabilitas ekonomi, sosial dan politik.
            Ketentuan tentang SDM dan Sarana dan Prasarana belum secara jelas diatur dalam Undang-Undang No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan, padahal untuk mewujudkan perkarantinaan hewan, ikan, dan tumbuhan dalam suatu system yang maju dan tangguh sebagaimana diamanatkan memerlukan SDM dan Sarana dan Prasarana memadai dan dapat diandalkan termasuk penggunaan sarana teknologi informasi seperti penggunaan sertifikat elektronik.
            Masalah lainnya adalah adanya materi baru yang belum diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992, yaitu tentang masalah pungutan jasa karantina dan masalah transit alat angkut yang mengangkut Media Pembawa. Penjelasan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan menjelaskan:
            “Ada dua masalah dalam yang secara tegas diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yaitu masalah pungutan jasa karantina dan masalah transit alat angkut yang mengangkut Media Pembawa”

Dua hal ini mempunyai implikasi yang luas terhadap kepentingan umum atau menyangkut kompetensi dari berbagai kementerian sehingga pelaksanaannya memerlukan koordinasi antar departemen. Aturan hukum yang jelas diperlukan untuk menjaga keutuhan sistem sekaligus melengkapi ketentuanketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang tersebut.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas 4 - Delima / 21317514