ANALISIS
DAN EVALUASI
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
BIDANG
PERUMAHAN RAKYAT
1. Analisis
dan Evaluasi Horisontal
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya
Pemanfaatan barang milik Negara/daerah
berupa tanah untuk pembangunan rumah susun diatur secara tersendiri di dalam
Pasal 19, 20, dan 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
(UURS). Disebutkan bahwa pemanfaatan BMN/D dilakukan dengan cara sewa atau
kerja sama pemanfaatan. Kemudian, UURS juga mengatur bahwa pelaksanaan sewa
atau kerja sama pemanfaatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Terminologi “sewa” dan “kerja sama
pemanfaatan” tidak dijabarkan lebih lanjut di dalam UURS.UURS merujuk kedua
terminology tersebut kepada peraturan perundangundangan yang ada. Dalam hal
ini, undang-undang yang relevan ialah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 (PP Pengelolaan BMN/D),
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
(Permendagri 17/2007),Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.06/2012 Tahun
2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara(Permenkeu 33/2012)
dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK/06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang
Milik Negara (Permenkeu 96/2007).
Di dalam PP Pengelolaan BMN/D, “sewa”
diartikan sebagai pemanfaatan barang milik Negara/daerah oleh pihak lain dalam
jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Sedangkan, “kerja sama
pemanfaatan” diartikan sebagai pendayagunaan barang milik Negara/daerah oleh
pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan
Negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya. Pasal 22 PP
Pengelolaan BMN/D mengatur bahwa barang milik Negara/daerah dapat disewakan
kepada pihak lain sepanjang menguntungkan Negara/daerah. Sehubungan dengan
pembangunan rumah susun umum, apakah mungkin Negara/daerah memperoleh
keuntungan dengan menyewakan BMN/D miliknya kepada pihak ketiga untuk
kepentingan rumah susun umum yang notabene dibangun untuk kebutuhan masyarakat
berpenghasilan rendah?Jika harga sewa ditetapkan terlalu tinggi, tentunya harga
sewa rumah susun umum akan meningkat juga yang pada akhirnya memberatkan pihak
penyewa rumah susun umum.Terkait pertanyaan ini, Pasal 21 ayat (3) UURS
mengatur bahwa penetapan tarif sewa atas tanah dilakukan oleh pemerintah untuk
menjamin keterjangkauan harga jual sarusun umum bagi masyarakat berpenghasilan
rendah (MBR).Pengaturan pasal ini membuka kemungkinan terjadinya konflik antara
kewajiban pemerintah untuk menjalankan ketentuan PP Pengelolaan BMN/D dan
kewajiban membantu MBR dengan pembangunan rumah susun umum.
Selanjutnya, Pasal 22 juga mengatur
bahwa jangka waktu penyewaan BMN/D paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang.Sedangkan, jangka waktu sewa atas tanah di dalam UURS diberikan
selama 60 (enam puluh) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian
tertulis.Tentunya, perbedaan jangka waktu pengaturan di PP Pengelolaan BMN/D
dengan pengaturan di UURS sangat signifikan.Perbedaan pengaturan ini
menunjukkan adanya konflik horisontal antara perangkat peraturan
perundang-undangan pengelolaan BMN/D dan perangkat peraturan rumah susun.
Pada PP Pengelolaan BMN/D, jangka
waktu kerja sama pemanfaatan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian
ditandatangani dan dapat diperpanjang. UURS tidak memberikan pengaturan
spesifik terhadap jangka waktu kerja sama pemanfaatan, tapi rujukan
pasal-pasalnya menunjukkan bahwa jangka waktu kerja sama pemanfaatan untuk
pembangunan rumah susun umum diberikan selama 60 (enam puluh) tahun. Hal ini
serupa dengan jangka waktu sewa.Seperti terhadap sewa, perbedaan jangka waktu
yang diatur dalam PP Pengelolaan BMN/D dengan UURS sangat signifikan. Tentunya,
pihak pemerintah akan bingung jangka waktu mana yang akan diikuti mengingat
keduanya mengatur obyek yang sama.
Hal lain yang perlu dicermati ialah
terkait pengaturan tentang penandatanganan perjanjian tertulis di hadapan
pejabat yang berwenang sehubungan dengan sewa dan kerja sama pemanfaatan
sebagaimana diatur dalam UURS. Terhadap sewa, Permenkeu 33/2012 mengatur bahwa
perjanjian dapat dibuat cukup dengan materai, tidak ada kewajiban untuk membuat
akta notarial.Hal ini serupa dengan pengaturan sewa BMD sebagaimana diuraikan
pada Permendagri 17/2007. Namun, terhadap kerja sama pemanfaatan, Permenkeu
96/2007 mengatur bahwa perjanjian harus dibuat dalam bentuk akta notarial.
Sedangkan, terkait BMD, tidak ada pengaturan bahwa perjanjian kerja sama pemanfaatan
dan sewa terhadap BMD harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”)
Pasal 54 ayat (2) huruf b UURS
menyebutkan bahwa setiap orang yang memiliki sarusun umum hanya dapat
mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain dalam hal perikatan kepemilikan
rumah susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Pasal ini tidak
jelas.Apakah maksudnya ada pranata hukum baru khusus terhadap rumah susun
umum?Namun, di sisi lain, rumah susun
umum dapat didirikan di atas tanah
BMN/D ataupun tanah hak biasa. Jika didirikan di atas tanah BMN/D (tidak
bersertifikat), maka otomatis status tanahnya sewa atau kerja sama pemanfaatan.
Bukti kepemilikan terhadap satuan rumah susun (sarusun) umum tersebut berupa
Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG).Jika didirikan di atas tanah hak
biasa, maka bukti kepemilikan sarusun umum berupa Sertifikat Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun (SHMSRS).SHMSRS mengikuti alas hak atas tanah di bawahnya.Konsep
kepemilikan tanah selama 20 (dua puluh) tahun tidak dikenal di dalam
UUPA.Dengan demikian, pengaturan di dalam UURS terkait kepemilikan sarusun umum
menjadi tidak jelas dan mengacaukan struktur hukum pertanahan yang sudah ada.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 45 ayat (4) UURS mengatur bahwa
penguasaan sarusun pada rumah susun komersial dapat dilakukan dengan cara
dimiliki atau disewa.Bagaimana dengan penguasaan sarusun komersial melalui
pinjam pakai?Kepemilikan dapat dibuktikan dengan akta jual beli, akta hibah,
atau akta waris.Sewa dapat dibuktikan dengan perjanjian sewa.Pinjam pakai juga
dapat dibuktikan dengan perjanjian pinjam pakai.Hal pinjam pakai diatur di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd). Pengaturan pada UURS tidak
begitu jelas apakah memang bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya
pinjam pakai sarusun, atau sekedar memberikan penjelasan bphn terkait
penguasaan sarusun, yang antara lain melalui kepemilikan dan sewa.
2.
Analisis dan Evaluasi Vertikal
a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun
Definisi Tanah Bersama Pasal 1 angka 4
UURS mengartikan tanah bersama sebagai sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk
bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya
berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan
bangunan.
Pengertian tanah bersama sejak awal
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU Rusun
Lama) memberikan pengertian bahwa tanah bersama adalah sebidang tanah yang
digunakan atas dasar hak bersama. Yang perlu dicermati, apakah tanah sewa dapat
diartikan sebagai hak bersama?Dalam suatu rumah susun, dikenal pertelaan dan
nilai perbandingan proporsional. Nilai perbandingan proporsional adalah angka
yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung berdasarkan nilai sarusun yang
bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu
pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunan secara
keseluruhan untuk menentukan harga jualnya. Dari pengertian NPP, tanah bersama
dianggap sebagai suatu hak bersama.Memang kata “kepemilikan” tidak ada di dalam
pengertian “tanah bersama” dan “NPP”. Namun, secara umum telah diketahui bahwa
tanah bersama terkait dengan “kepemilikan”, bukan dengan “penguasaan” atau
“penggunaan”. Itulah mengapa orang asing tidak dapat memiliki SHMSRS yang
dibangun di atas tanah Hak Guna Bangunan (HGB). Sarusun yang dibangun di atas
tanah hak tertentu akan mempunyai karakter yang sama dengan alas haknya. Dengan
demikian, jelas bahwa tanah bersama sangat terkait dengan “kepemilikan”, bukan
dengan “penguasaan”.Oleh karena itu, tanah sewa, yang sesungguhnya bukanlah
suatu hak kepemilikan, tidak tepat dianggap sebagai tanah bersama.Hal ini juga
bertentangan dengan pengaturan tentang SKBG di UURS yang secara jelas mengatur
bahwa SKBG hanya terdiri dari bagian bersama dan benda bersama. SKBG dapat
dibangun di atas tanah dengan hak sewa atau kerja sama pemanfaatan. Di satu
sisi, UURS memasukkan tanah sewa sebagai tanah bersama, tapi di sisi lain, SKBG
tidak meliputi tanah bersama.
Pemanfaatan
Rumah Susun
Pasal 50 UURS mengatur bahwa
pemanfaatan rumah susun dilaksanakan dengan fungsi hunian atau campuran.Fungsi
campuran adalah campuran antara fungsi hunian dan bukan hunian.Bagaimana dengan
rumah susun bukan hunian?Apakah dengan pengaturan pasal ini rumah susun dengan
fungsi bukan hunian harus dikombinasikan dengan fungsi hunian? Hal ini sangat
material dan mempunyai dampak sangat signifikan bagi pembangunan rumah susun ke
depan. Pihak pengembang tidak memperoleh kepastian hukum apakah bisa atau tidak
bisa membangun condotel (condominium hotel), office tower, trade centre, atau
strata mall.Pasal ini perlu dikaji ulang dan diatur menjadi fungsi hunian,
fungsi bukan hunian, dan fungsi campuran.
Perhimpunan
Penghuni dan Pemilik Satuan Rumah Susun
UURS mengubah terminologi PPRS menjadi
PPPSRS.Yang menjadi pertanyaan banyak kalangan, apakah secara hukum PPRS yang
telah dibentuk perlu diubah menjadi PPPSRS.Apakah secara otomatis PPRS yang
sudah terbentuk menjadi PPPSRS? Jika memang perlu disesuaikan, apakah
penggantian nama tersebut perlu juga disahkan oleh Gubernur untuk DKI Jakarta
dan Walikota/Bupati untuk daerah lain? Hal ini masih belum jelas dan perlu
diatur di dalam peraturan pelaksanaan UURS.
Selain itu, pengaturan terkait hak
suara belum diatur secara jelas sehingga menimbulkan distorsi di antara anggota
PPPSRS. Pasal 77 mengatur bahwa dalam hal PPPSRS memutuskan sesuatu yang
berkaitan dengan kepemilikan dan pengelolaan rumah susun, setiap anggota
mempunyai hak yang sama dengan NPP. Dalam hal PPPSRS memutuskan sesuatu yang
berkaitan dengan kepentingan penghunian rumah susun, setiap anggota berhak
memberikan satu suara.Contoh-contoh keputusan terkait kepemilikan, pengelolaan
dan penghunian tidak diberikan.Memang pengertian jenis-jenis hak suara tersebut
diatur di dalam Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No.6/KPTS/BKP4N/1995 tentang
Pedoman Pembuatan Akta
Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (Kepmenpera 6/1995) di dalam
pedoman Anggaran Dasar.Namun, pengertian yang diberikan cenderung overlapping
dan tidak mempunyai batasan-batasan yang jelas.Akibatnya, penafsiran di antara
pengurus dan anggota-anggota PPPSRS tidak sinkron dan berpotensi menjadi
konflik di dalam pengambilan keputusan.Batasan-batasan dan pengertian yang
jelas terhadap jenis-jenis hak suara tersebut perlu diperjelas.
UURS juga memperkenalkan adanya
mekanisme one man one vote yang berlaku terhadap hak suara penghunian.Jika
sarusun tersebut tidak dihuni maka pemilik sarusunsarusun yang kosong tersebut
hanya mempunyai satu suara.Pasal ini membuat resah para pengembang karena
kemungkinan unit-unit kosong yang belum dihuni cukup besar setelah serah terima
unit terjadi dan PPPSRS telah secara hukum dibentuk.Terkait hal
ini,ketidakjelasan tentang apa yang menjadi hak suara penghunian menjadi sangat
material agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari antara pengembang
sebagai fasilitator pembentukan PPPSRS dan para pembeli sarusun yang menjadi
anggota-anggota PPPSRS.
Penyelesaian
Sengketa
Penyelesaian sengketa di UURS dapat
diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan.Namun, berdasarkan
Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan
Jual Beli Satuan Rumah Susun (Kepmenpera 11/1994), penyelesaian sengketa
diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Tentunya, dengan adanya
pengaturan ini, maka Kepmenpera 11/1994 perlu disesuaikan, tidak hanya merujuk
kepada BANI tapi juga bisa melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar