Kamis, 16 Januari 2020

Tugas 3 - Delima /21317514


ANALISIS DAN EVALUASI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BIDANG PERUMAHAN RAKYAT

1.     Analisis dan Evaluasi Horisontal
 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya
Pemanfaatan barang milik Negara/daerah berupa tanah untuk pembangunan rumah susun diatur secara tersendiri di dalam Pasal 19, 20, dan 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UURS). Disebutkan bahwa pemanfaatan BMN/D dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan. Kemudian, UURS juga mengatur bahwa pelaksanaan sewa atau kerja sama pemanfaatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terminologi “sewa” dan “kerja sama pemanfaatan” tidak dijabarkan lebih lanjut di dalam UURS.UURS merujuk kedua terminology tersebut kepada peraturan perundangundangan yang ada. Dalam hal ini, undang-undang yang relevan ialah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 (PP Pengelolaan BMN/D),

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah (Permendagri 17/2007),Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.06/2012 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara(Permenkeu 33/2012) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK/06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara (Permenkeu 96/2007).

Di dalam PP Pengelolaan BMN/D, “sewa” diartikan sebagai pemanfaatan barang milik Negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Sedangkan, “kerja sama pemanfaatan” diartikan sebagai pendayagunaan barang milik Negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan Negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya. Pasal 22 PP Pengelolaan BMN/D mengatur bahwa barang milik Negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain sepanjang menguntungkan Negara/daerah. Sehubungan dengan pembangunan rumah susun umum, apakah mungkin Negara/daerah memperoleh keuntungan dengan menyewakan BMN/D miliknya kepada pihak ketiga untuk kepentingan rumah susun umum yang notabene dibangun untuk kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah?Jika harga sewa ditetapkan terlalu tinggi, tentunya harga sewa rumah susun umum akan meningkat juga yang pada akhirnya memberatkan pihak penyewa rumah susun umum.Terkait pertanyaan ini, Pasal 21 ayat (3) UURS mengatur bahwa penetapan tarif sewa atas tanah dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin keterjangkauan harga jual sarusun umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).Pengaturan pasal ini membuka kemungkinan terjadinya konflik antara kewajiban pemerintah untuk menjalankan ketentuan PP Pengelolaan BMN/D dan kewajiban membantu MBR dengan pembangunan rumah susun umum.

Selanjutnya, Pasal 22 juga mengatur bahwa jangka waktu penyewaan BMN/D paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.Sedangkan, jangka waktu sewa atas tanah di dalam UURS diberikan selama 60 (enam puluh) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian tertulis.Tentunya, perbedaan jangka waktu pengaturan di PP Pengelolaan BMN/D dengan pengaturan di UURS sangat signifikan.Perbedaan pengaturan ini menunjukkan adanya konflik horisontal antara perangkat peraturan perundang-undangan pengelolaan BMN/D dan perangkat peraturan rumah susun.

Pada PP Pengelolaan BMN/D, jangka waktu kerja sama pemanfaatan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. UURS tidak memberikan pengaturan spesifik terhadap jangka waktu kerja sama pemanfaatan, tapi rujukan pasal-pasalnya menunjukkan bahwa jangka waktu kerja sama pemanfaatan untuk pembangunan rumah susun umum diberikan selama 60 (enam puluh) tahun. Hal ini serupa dengan jangka waktu sewa.Seperti terhadap sewa, perbedaan jangka waktu yang diatur dalam PP Pengelolaan BMN/D dengan UURS sangat signifikan. Tentunya, pihak pemerintah akan bingung jangka waktu mana yang akan diikuti mengingat keduanya mengatur obyek yang sama.

Hal lain yang perlu dicermati ialah terkait pengaturan tentang penandatanganan perjanjian tertulis di hadapan pejabat yang berwenang sehubungan dengan sewa dan kerja sama pemanfaatan sebagaimana diatur dalam UURS. Terhadap sewa, Permenkeu 33/2012 mengatur bahwa perjanjian dapat dibuat cukup dengan materai, tidak ada kewajiban untuk membuat akta notarial.Hal ini serupa dengan pengaturan sewa BMD sebagaimana diuraikan pada Permendagri 17/2007. Namun, terhadap kerja sama pemanfaatan, Permenkeu 96/2007 mengatur bahwa perjanjian harus dibuat dalam bentuk akta notarial. Sedangkan, terkait BMD, tidak ada pengaturan bahwa perjanjian kerja sama pemanfaatan dan sewa terhadap BMD harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”)
Pasal 54 ayat (2) huruf b UURS menyebutkan bahwa setiap orang yang memiliki sarusun umum hanya dapat mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain dalam hal perikatan kepemilikan rumah susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Pasal ini tidak jelas.Apakah maksudnya ada pranata hukum baru khusus terhadap rumah susun umum?Namun, di sisi lain, rumah susun

umum dapat didirikan di atas tanah BMN/D ataupun tanah hak biasa. Jika didirikan di atas tanah BMN/D (tidak bersertifikat), maka otomatis status tanahnya sewa atau kerja sama pemanfaatan. Bukti kepemilikan terhadap satuan rumah susun (sarusun) umum tersebut berupa Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG).Jika didirikan di atas tanah hak biasa, maka bukti kepemilikan sarusun umum berupa Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS).SHMSRS mengikuti alas hak atas tanah di bawahnya.Konsep kepemilikan tanah selama 20 (dua puluh) tahun tidak dikenal di dalam UUPA.Dengan demikian, pengaturan di dalam UURS terkait kepemilikan sarusun umum menjadi tidak jelas dan mengacaukan struktur hukum pertanahan yang sudah ada. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 45 ayat (4) UURS mengatur bahwa penguasaan sarusun pada rumah susun komersial dapat dilakukan dengan cara dimiliki atau disewa.Bagaimana dengan penguasaan sarusun komersial melalui pinjam pakai?Kepemilikan dapat dibuktikan dengan akta jual beli, akta hibah, atau akta waris.Sewa dapat dibuktikan dengan perjanjian sewa.Pinjam pakai juga dapat dibuktikan dengan perjanjian pinjam pakai.Hal pinjam pakai diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd). Pengaturan pada UURS tidak begitu jelas apakah memang bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya pinjam pakai sarusun, atau sekedar memberikan penjelasan bphn terkait penguasaan sarusun, yang antara lain melalui kepemilikan dan sewa.

2. Analisis dan Evaluasi Vertikal
 a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Definisi Tanah Bersama Pasal 1 angka 4 UURS mengartikan tanah bersama sebagai sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan bangunan.

Pengertian tanah bersama sejak awal diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU Rusun Lama) memberikan pengertian bahwa tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama. Yang perlu dicermati, apakah tanah sewa dapat diartikan sebagai hak bersama?Dalam suatu rumah susun, dikenal pertelaan dan nilai perbandingan proporsional. Nilai perbandingan proporsional adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung berdasarkan nilai sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunan secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya. Dari pengertian NPP, tanah bersama dianggap sebagai suatu hak bersama.Memang kata “kepemilikan” tidak ada di dalam pengertian “tanah bersama” dan “NPP”. Namun, secara umum telah diketahui bahwa tanah bersama terkait dengan “kepemilikan”, bukan dengan “penguasaan” atau “penggunaan”. Itulah mengapa orang asing tidak dapat memiliki SHMSRS yang dibangun di atas tanah Hak Guna Bangunan (HGB). Sarusun yang dibangun di atas tanah hak tertentu akan mempunyai karakter yang sama dengan alas haknya. Dengan demikian, jelas bahwa tanah bersama sangat terkait dengan “kepemilikan”, bukan dengan “penguasaan”.Oleh karena itu, tanah sewa, yang sesungguhnya bukanlah suatu hak kepemilikan, tidak tepat dianggap sebagai tanah bersama.Hal ini juga bertentangan dengan pengaturan tentang SKBG di UURS yang secara jelas mengatur bahwa SKBG hanya terdiri dari bagian bersama dan benda bersama. SKBG dapat dibangun di atas tanah dengan hak sewa atau kerja sama pemanfaatan. Di satu sisi, UURS memasukkan tanah sewa sebagai tanah bersama, tapi di sisi lain, SKBG tidak meliputi tanah bersama.

Pemanfaatan Rumah Susun
Pasal 50 UURS mengatur bahwa pemanfaatan rumah susun dilaksanakan dengan fungsi hunian atau campuran.Fungsi campuran adalah campuran antara fungsi hunian dan bukan hunian.Bagaimana dengan rumah susun bukan hunian?Apakah dengan pengaturan pasal ini rumah susun dengan fungsi bukan hunian harus dikombinasikan dengan fungsi hunian? Hal ini sangat material dan mempunyai dampak sangat signifikan bagi pembangunan rumah susun ke depan. Pihak pengembang tidak memperoleh kepastian hukum apakah bisa atau tidak bisa membangun condotel (condominium hotel), office tower, trade centre, atau strata mall.Pasal ini perlu dikaji ulang dan diatur menjadi fungsi hunian, fungsi bukan hunian, dan fungsi campuran.

Perhimpunan Penghuni dan Pemilik Satuan Rumah Susun
UURS mengubah terminologi PPRS menjadi PPPSRS.Yang menjadi pertanyaan banyak kalangan, apakah secara hukum PPRS yang telah dibentuk perlu diubah menjadi PPPSRS.Apakah secara otomatis PPRS yang sudah terbentuk menjadi PPPSRS? Jika memang perlu disesuaikan, apakah penggantian nama tersebut perlu juga disahkan oleh Gubernur untuk DKI Jakarta dan Walikota/Bupati untuk daerah lain? Hal ini masih belum jelas dan perlu diatur di dalam peraturan pelaksanaan UURS.

Selain itu, pengaturan terkait hak suara belum diatur secara jelas sehingga menimbulkan distorsi di antara anggota PPPSRS. Pasal 77 mengatur bahwa dalam hal PPPSRS memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepemilikan dan pengelolaan rumah susun, setiap anggota mempunyai hak yang sama dengan NPP. Dalam hal PPPSRS memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan penghunian rumah susun, setiap anggota berhak memberikan satu suara.Contoh-contoh keputusan terkait kepemilikan, pengelolaan dan penghunian tidak diberikan.Memang pengertian jenis-jenis hak suara tersebut diatur di dalam Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No.6/KPTS/BKP4N/1995 tentang Pedoman Pembuatan Akta

Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (Kepmenpera 6/1995) di dalam pedoman Anggaran Dasar.Namun, pengertian yang diberikan cenderung overlapping dan tidak mempunyai batasan-batasan yang jelas.Akibatnya, penafsiran di antara pengurus dan anggota-anggota PPPSRS tidak sinkron dan berpotensi menjadi konflik di dalam pengambilan keputusan.Batasan-batasan dan pengertian yang jelas terhadap jenis-jenis hak suara tersebut perlu diperjelas.

UURS juga memperkenalkan adanya mekanisme one man one vote yang berlaku terhadap hak suara penghunian.Jika sarusun tersebut tidak dihuni maka pemilik sarusunsarusun yang kosong tersebut hanya mempunyai satu suara.Pasal ini membuat resah para pengembang karena kemungkinan unit-unit kosong yang belum dihuni cukup besar setelah serah terima unit terjadi dan PPPSRS telah secara hukum dibentuk.Terkait hal ini,ketidakjelasan tentang apa yang menjadi hak suara penghunian menjadi sangat material agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari antara pengembang sebagai fasilitator pembentukan PPPSRS dan para pembeli sarusun yang menjadi anggota-anggota PPPSRS.


Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa di UURS dapat diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan.Namun, berdasarkan Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun (Kepmenpera 11/1994), penyelesaian sengketa diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Tentunya, dengan adanya pengaturan ini, maka Kepmenpera 11/1994 perlu disesuaikan, tidak hanya merujuk kepada BANI tapi juga bisa melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas 4 - Delima / 21317514